Pejuang Fiqh Perempuan: Syafiq Hasyim
Profil
Syafiq Hasyim lahir di Jepara, pada 18 April 1971. Ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kota kelahirannya. Sebagai orang yang lahir di keluarga Nahdlatul Ulama (NU) 35 tahun yang lalu dan dididik di pesantren Matholi’ul Huda, Jepara, Jawa Tengah selama tujuh tahun (1985-1991), Syafiq tidak diragukan lagi akrab dengan tradisi Islam dan kitab kuning (teks-teks klasik). Kemudian pada 1991, Syafiq hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studi di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama waktu itu, ia mengamati bahwa banyak organisasi perempuan mengalami kesulitan dalam melakukan advokasi hak-hak perempuan dan secara efektif mentransfer ide-ide mereka ke akar rumput. Mereka sering dituduh memaksakan nilai-nilai Barat yang tidak selalu dianggap sejalan dengan persepsi agama dan lokal. Namun, berbagai kegiatan yang dilakukan dengan gerakan perempuan selama hari-hari mahasiswanya di Jakarta, membuka matanya dengan realitas jelek posisi yang ditempati oleh perempuan di negara yang sering menderita narrow mindedness.
Berjuang Untuk Fiqh Perempuan
Bertekad untuk mengabdikan karirnya untuk mendekonstruksi patriarkal pola pikir masyarakat, Syafiq bergabung dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada tahun 1996 dan tergabung menjadi peneliti dalam divisi Fiqh al-Nisa, yang tugasnya adalah untuk melakukan penelitian mengenai isu perempuan dan hak-hak advokat perempuan. Bisa dikatakan bahwa program pengembangan wacana fiqih perempuan yang dilakukan oleh divisi Fiqh al-Nisa’ P3M ini merupakan upaya awal untuk menggulirkan wacana fiqih perempuan.
Dengan rekan-rekannya, Syafiq membantu memperkenalkan program hak reproduksi bagi perempuan Islam, yang diajarkan di pesantren NU dan didukung oleh The Ford Foundation. Pada awalnya mereka menerima perlawanan yang kuat dari kyai (tokoh agama), tetapi ia meyakinkan mereka dengan menyatakan bahwa prinsip Islam tentang perempuan harus diterjemahkan ke dalam tindakan.
Namun, P3M masih longgar berafiliasi dengan NU – beberapa di antaranya masih ketat berpegang teguh pada interpretasi literal Islam – dan tentang isu poligami. Dan mencapai titik yang memaksa Syafiq untuk meninggalkan organisasi ini pada tahun 2000.
Wadah Keadilan dan Kesetaraan
Ia dan rekan-rekannya yang mempunyai aspirasi yang sama, mendirikan Yayasan Rahima pada t ahun yang sama (2000). Organisasi ini lebih independen dan berfokus terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dengan ditandai adanya relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan dan terpenuhinya hak-hak perempuan sebagai Hak Asasi Manusia dengan misi melakukan penyadaran mengenai hak-hak perempuan dalam perspektif Islam, menciptakan diskursus baru yang berdasarkan pada relasi yang setara dan mendorong upaya penegakan serta penyebaran informasi tentang hak-hak perempuan dalam Islam kepada kelompok-kelompok Muslim lokal dan masyarakat pesantren.
Setelah menyelesaikan Master dalam Studi Islam di Universitas Leiden Belanda pada 2000-2002, Syafiq terlibat dalam sebuah program dengan Rahima dalam membangun kesadaran hak-hak perempuan. Program yang didukung oleh The Asia Foundation ini, dijalankan di Tasikmalaya dan Garut di Jawa Barat – tempat di mana pemerintah daerah antusias memperkenalkan hukum syariah yang terinspirasi dari euforia otonomi daerah.
Rahima bekerja sama dengan kelompok masyarakat lokal seperti Nahdina, Asper dan LK – HAM di Tasikmalaya. Di Garut, Rahima bekerjasama dengan pesantren seperti al-Musadadiyah dan orang-orang NU, Persis dan Muhammadiyah. Di Garut juga didirikan The Women Crisis Center. Sekitar 400 perempuan dan laki-laki bersama-sama berpartisipasi dalam program ini. Rahima memperkenalkan mereka untuk melakukan penelitian di berbagai negara dimana hudud membawa penderitaan bagi perempuan. Juga melalui talk show radio, program ini mencapai khalayak yang lebih luas dalam upaya untuk mendiskusikan secara bebas berbagai isu dari hak- hak ekonomi perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga terhadap kepemimpinan. Sekarang, banyak lulusan program yang telah menjadi aktivis lokal terkemuka yang suaranya kritis tidak dapat diabaikan oleh pemerintah daerah.
Internasionalisasi Rahima
Syafiq juga mengambil inisiatif untuk memperluas jaringan di tingkat regional dan internasional. Kemudian, Rahima terlibat dalam proyek Hak at Home, dengan beberapa organisasi di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Afrika Selatan. Proyek ini mencoba untuk mengeksplorasi isu-isu perempuan dari masing-masing daerah.
Peningkatan kapasitas bagi aktivis perempuan dari masing-masing daerah juga dicapai melalui pelatihan dan lokakarya di Libanon dan Afrika Selatan. Hak beberapa perempuan dilindungi oleh Islam, di antaranya adalah hak untuk memilih pasangan pernikahan mereka, untuk bercerai, untuk mewarisi dan memiliki properti, untuk membesarkan anak-anak mereka, untuk menghabiskan uang mereka sendiri, dan hak untuk kehidupan yang layak. Sayangnya, setelah kematian Nabi, peran perempuan dalam ranah publik menurun dan apresiasi wanita juga anjlok.
Syafiq juga bekerja untuk Badan Pembangunan Internasional Kanada (CIDA). Disana, ia menjadi salah satu penasihat jender untuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias dari tahun 2005. Atas pelaksanaan syariah di Aceh, Syafiq terlibat dalam penguatan peran perempuan ulama, yang terwakili di hampir setiap lapisan masyarakat.
Produktifitas
Syafiq memang seorang penulis yang produktif. Sejak mahasiswa, dia aktif menulis artikel di Koran, majalah, dan jurnal, seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Panji, Ummat, Tiras, Pilar, dan Tashirul Afkar. Adapun karya Syafiq Hasyim antara lain:
- Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, diterbitkan Mizan bekerjasama dengan The Ford Fondation dan Rahima (2001).
- Menakar Harga Perempuan, Eksplorasi Lanjut Atas Hak -hak Reproduksi Perempuan dalam Islam. Diterbitkan oleh Mizan dan bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) serta The Ford Foundation (1999).
- Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kejahatan yang Tersembunyi, diterbitkan oleh Fatayat NU (1999).
- Kepemimpinan perempuan dalam Islam, diterbitkan oleh The Asia Foundation (1999).
- Dari Aqidah Ke Revolusi oleh Paramadina (2003).
- Understanding Women in Islam: An Indonesian Perspective (Memahami Perempuan dalam Islam: Sebuah Perspektif Indonesia). Buku yang ditulis dalam bahasa Inggris kerja sama antara diterbitkan Solstice, The Asia Foundation dan Pusat Internasional untuk Islam dan Pluralisme.
Selain buku di atas, terdapat tulisan lain berupa artikel maupun bunga rampai, seperti:
- Tradisi, kemodrenan, metamodernisme: membincangkan pemikiran Mohammed Arkoun, Lkis, 1996.
- Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, Lkis, 2002.
- Oksidentalisme: sikap kita terhadap tradisi Barat, Paramadina, 1999.
- Gambaran Tuhan yang Serba Maskulin: Perspektif Gender Pemikiran Kalam, dalam Ali Munhanif; Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik.
Mimpi untuk Indonesia
Syafiq mengatakan mimpi terbesarnya adalah untuk menyebarkan interpretasi Islam Indonesia yang moderat, humanistik dan progresif di seluruh dunia. Baginya, ijtihad tidak hanya persoalan fiqih belaka, namun juga mencakup seluruh aspek persoalan yang global. Persoalan yang menyeluruh terkait hajat dasar kehidupan manusia sesuai dengan tujuan agama itu sendiri sebagai pemenuhan atas kebutuhan dasar manusia. Ijtihad pada dasarnya adalah mekanisme untuk mempertahankan hubungan antara agama dengan kehidupan sosial. Kalau ijtihad mati maka kehidupan sosial menjadi kering karena agama tidak ada di sana. Dia bertekad untuk menulis lebih banyak – tidak hanya dalam Bahasa Indonesia, tetapi juga dalam Bahasa Inggris.
Menurutnya, beberapa ulama Timur Tengah mungkin mengabaikan Islam Indonesia karena mereka selalu menganggap diri mereka sebagai lebih otoritatif. Namun orang Indonesia berhak untuk menafsirkan Islam, untuk memastikan bahwa Islam membawa perdamaian dan keadilan atas semua dan alam semesta. Tidak hanya itu, mengambil sisi yang terpinggirkan dari masyarakat, terutama perempuan.