Menyoal Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Undang-Undang
PRO-KONTRA terkait putusan MK Nomor 135/2024, yang pada pokoknya memerintahkan pembuat UU memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, bergulir tajam saat ini.
Kelompok yang mendukung putusan MK berpegang pada argumen kefinalan putusan MK. Sembari secara satir, mempertanyakan sikap yang berseberangan yang telah menerima putusan MK lainnya tanpa reserved—khususnya putusan MK Nomor 90/2023 yang melancarkan keterpilihan Gibran sebagai Wakil Presiden.
Di arus berlawanan, argumen yang diteriakkan bertumpu pada tuduhan inkonstitusionalitas putusan MK karena bertabrakan dengan norma UUD 1945, khususnya pada norma keajegan waktu Pemilu per lima tahun sekali. Putusan MK dianggap melangkahi norma ini.
Perdebatan ini penting dan menarik, tidak hanya terkait relasi dan kewenangan lembaga negara, tetapi juga menyangkut kesepakatan tentang model pemilu masa depan yang selalu berubah.
Secara akademik, isu ini akan memantik diskusi serius yang membongkar lebih dalam teori dan konsep fundamental keilmuan tata negara dan politik.
Namun, ada satu aspek yang perlu dibahas lebih awal dan belum banyak muncul dalam obrolan seputar tema ini, yakni menyangkut praktik yang sudah berjalan—tentang peran MK sebagai penafsir UU, bukan UUD semata.
Bentuk Tafsir UU
Penafsiran UU selama ini merupakan kewenangan pembentuk UU yang wujudnya berupa penjelasan UU. Secara doktrinal maupun positivistik, penjelasan UU dianggap satu kesatuan dengan UU dan karenanya dapat dijadikan objek pengujian di MK.
Dalam wujud selanjutnya yang lebih konkret, UU juga diinterpretasikan oleh lembaga-lembaga yang diberikan kekuasaan distributif melalui pembentukan peraturan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan KPU, Peraturan Presiden, bahkan sampai Peraturan MK.
Dua model interpretasi teknis UU ini telah menjadi pegangan semua ahli hukum negeri ini—sampai kemudian MK, sebenarnya sejak lebih dari dua dekade lalu, memainkan peran baru dengan menerima permohonan pengujian UU dengan model konstitusional atau inkonstitusional bersyarat yang konstruksi amar putusannya memberikan tafsir terhadap kata, frasa, atau pasal dalam UU yang dianggap sesuai konstitusi.
Ketika pertama kali muncul model amar putusan MK yang bersifat interpretatif ini, perdebatan timbul dengan mengedepankan teori-teori seperti positive vs negative legislator atau judicial activism vs judicial restraints.
Hebatnya, tanpa halangan politik yang signifikan—kecuali pemberhentian salah satu hakim MK oleh DPR dengan alasan sering berseberangan dengan pemberi mandat—praktik amar putusan ini telah menjadi preseden atau yurisprudensi, bahkan belakangan masuk dalam ketentuan melalui PMK Nomor 2 Tahun 2021 terkait hukum acara pengujian undang-undang di MK.
Melalui praktik ini, maka secara teknis perundang-undangan, ada model baru tafsir UU, yakni tafsir versi MK.
Hebatnya, tafsir ini lebih tinggi posisinya ketimbang tafsir yang dibentuk oleh lembaga-lembaga negara dalam bentuk peraturan karena putusan MK setara dengan UU.
Peran MK menjadi penafsir UU merupakan ekstensifikasi kewenangan. Tak pernah ada penolakan terhadap posisi MK sebagai penjaga dan penafsir konstitusi.
Bahkan, pemahaman umum yang muncul di kalangan komunitas hukum, MK seakan dijadikan penafsir tunggal konstitusi.
Namun, terkait fungsi MK menjadi penafsir UU melalui putusan pengujian UU, sebenarnya belum final legitimasinya.
Persoalan Yurisprudensi
Sebagai pewaris sistem kontinental, Indonesia pada dasarnya tidak menjadikan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum.
Tapi sejak MK hadir, pelan-pelan pendulum sistemik ini berubah. MK secara konsisten menerapkan asas stare decisis dalam putusannya.
Mahkamah Agung pun mulai secara rutin menetapkan putusan-putusan tertentu sebagai yurisprudensi dengan penulisan khusus dalam buku pedoman khusus terbitannya.
Meski tidak dituliskan, yurisprudensi tampaknya telah menjadi sumber hukum tak tertulis negara ini.
Penerimaan preseden ini memang telah jadi model global dimana sekat sistemik seperti common law dengan civil law tak lagi ketat.
Setiap sistem saling berkelindan dan melengkapi, meski tidak secara tegas dinyatakan dalam aturan hukum setiap negara.
Bentuk sistem hukum sebuah negara hanya terlihat dari infrastruktur hukum fundamentalnya.
Isi dalamnya saling bertaut dengan konsep dari sistem lainnya karena memang, meminjam konsep perbandingan hukum, proses transplantasi hukum telah menjadi sesuatu yang lumrah.
Tapi dalam konteks negara kita, apakah model yurisprudensi MK ini telah benar-benar terintegrasi secara sistemik, atau dengan kata lain apakah ini telah mendapat legitimasinya secara hukum dan politik?
Secara konseptual, yurisprudensi belum menjadi sumber dalam sistem hukum kita.
Asas dan Norma
Asas legalitas ala kontinental mengunci hukum hanya bersumber dari pemegang otoritas yang dikasih legitimasinya oleh rakyat. Tak memandang baik langsung atau tidak, dan dalam bentuk peraturan.
Norma dalam bentuk putusan baru dikenal belakangan, terutama secara progresif dan intensif dilakukan oleh MK.
Di negara berbasis kontinental, yurisprudensi dapat ditransformasi menjadi kebiasaan. Kebiasaan atau lebih dikenal dengan adat (custom) telah diterima secara global sebagai sumber hukum.
Dalam hukum Islam, ini bahkan jadi kaidah pokok yang melahirkan banyak kaidah turunan, yakni al ‘adat muhakkamah (adat dijadikan hukum).
Pertanyaan yang muncul di sini adalah, apakah praktik yurisprudensi ala MK telah memenuhi unsur sebagai kebiasaan? Di sini letak perdebatan bisa muncul.
Dalam sistem hukum Islam sendiri, sesuatu bisa dikatakan ‘adat atau ‘urf harus memenuhi syarat tertentu.
Salah satunya adalah sudah ajeg dalam rentang masa tertentu digunakan sebagai hukum dan diterima oleh komunitasnya.
Terkait dengan syarat penerimaan adat atau kebiasaan ini secara legalistik tidak ada aturan baku yang spesifik.
Kalau pun ada, yang dimaksud di sana lebih pada komunitas adat yang harus dilindungi dengan mandat konstitusi pula.
Bukan dalam aspek kebiasaan sebagai sebuah sumber hukum. Tak ada kata sepakat secara doktriner terkait ini.
Open Legal Policy
Aspek lain yang menjadi persoalan terkait amar putusan MK yang berisi pemaknaan hukum baru, bahkan terhadap norma teknis, adalah ketidakjelasan wilayah kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy/OLP).
Istilah yang khas MK ini, karena tidak ditemukan di referensi hukum lain, sengaja diciptakan MK untuk memberikan demarkasi kewenangan konstitusional MK dengan pembentuk UU.
Sayangnya, frasa ini tak ada makna definitifnya. Tak ada satu pun makna denotatif dari istilah asing ini dalam putusan MK.
MK sengaja mengambangkan maknanya untuk, suatu saat, kemungkinan disimpangi sendiri.
Dalam kasus pengaturan waktu dan teknis pemilu, misalnya dalam putusan terkait usia capres dan cawapres, MK mengabulkannya setelah menolaknya beberapa kali karena dianggap OLP.
Apakah pemisahan pemilu nasional dan daerah juga merupakan OLP? Ini masuk ranah abu-abu.
Justru karena itu, jadi ruang yang bisa diintervensi MK. Keabu-abuan OLP menjadi persoalan hukum tersendiri karena memunculkan ketidakkonsistenan MK dalam menghadapi pengujian norma.
Kekuasaan Legislasi
Terlepas persoalan teknis hukum yang muncul menanggapi putusan MK, yang jadi perhatian adalah sifat final putusan MK yang ditegaskan konstitusi.
Putusan MK tidak final hanya dalam urusan terkait pendapat DPR mengenai pemakzulan presiden dan/atau wakilnya karena harus mendapatkan persetujuan mayoritas mutlak MPR.
Namun apakah ini berarti pembentuk UU tidak boleh menyimpangi putusan MK? Jika dikembalikan pada prinsip pembagian kekuasaan, hakikatnya pemegang kekuasaan legislasi ada di pembentuk UU, yakni DPR/DPD dan Pemerintah.
Jika UU Pemilu diubah secara total, maka sejatinya pasal yang ditafsirkan MK dalam putusannya dengan sendirinya kehilangan eksistensinya.
Pertimbangan MK dalam putusannya dengan situasi ini hanya akan menjadi pedoman semata.
Sifat kefinalan putusan MK tetap terjaga, tetapi karena objek pasal yang dimaknai telah tiada, maka putusan itu pun kehilangan kekuatannya.
Yang utama adalah rasio dan logika konstitusi yang diterapkan MK dalam putusan dipertimbangkan. Tak hanya itu, seraya melaksanakan rekayasa konstitusional untuk membentuk sistem pemilu yang ideal.
Proses legislasi yang dilakukan haruslah melibatkan partisipasi luas dalam rangka menemukan format baru pemilu yang sesuai asas dan prinsip konstitusi.
Dengan mandat yang diberikan rakyat melalui pemilu, semestinya pembentuk UU dapat menggunakan kekuasaannya untuk memproduksi hukum yang berbasis pada kehendak rakyat yang diwakilinya.
Jika UU yang dihasilkan berkualitas optimal secara prosedural dan substansial, maka MK tak perlu lagi bertindak selaku penafsir UU.
Andi Syafrani
Dosen FSH UIN Jakarta dan Presiden DPP Lumbung Informasi Rakyat (LIRA)