Kata Abdul Mu’ti soal Usul Pendidikan Gizi Masuk Kurikulum Sekolah
JAKARTA-Badan Gizi Nasional atau BGN mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menjadikan pendidikan gizi sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Namun Menteri Kemendikdasmen memandang pendidikan gizi tidak perlu masuk kurikulum, melainkan harus ditanamkan lewat kebiasaan.
“Saya mengatakan sejak awal, Makan Bergizi Gratis (MBG) itu juga bagian dari penanaman pendidikan karakter, misalnya selalu berdoa sebelum makan. Itu kan nilai-nilai spiritual. Kemudian nilai-nilai menghormati sesama, makan harus tenggang rasa, nilai kebersihan, ketertiban, cinta lingkungan, kepemimpinan. ” kata Mu’ti di Jakarta pada Ahad, 20 Juli 2025, seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, kebiasaan memiliki peran penting dalam membentuk perilaku dan karakter seseorang. Kebiasaan yang baik, jika dilakukan secara teratur, akan membentuk karakter positif pada anak.
“Jangan dimaknai semuanya dalam bentuk mata pelajaran, karena tidak semua hal itu harus diajarkan di sekolah. Dibiasakan saja. Kalau nanti bentuknya mata pelajaran, ujung-ujungnya hanya pengetahuan tapi tidak menjadi perilaku. Jadi pendidikan itu adalah proses kita membentuk perilaku melalui kebiasaan dan pembiasaan,” ujarnya.
Alasan BGN Usul Pendidikan Gizi Masuk Kurikulum Sekolah
Sebelumnya, BGN mengusulkan kepada Kemendikdasmen untuk menjadikan pendidikan gizi sebagai bagian dari kurikulum sekolah. “Hal ini sudah disampaikan kepada Kemendikdasmen. Tujuan utama dari langkah ini adalah menciptakan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. ” kata Dewan Pakar Bidang Gizi BGN Ikeu Tanziha di Jakarta pada Sabtu, 19 Juli 2025.
Dia menyebutkan edukasi gizi yang terstruktur dan terintegrasi di lingkungan sekolah sangat penting guna memahamkan nutrisi sejak usia dini.
“Gizi bukan hanya soal makanan, tapi tentang masa depan. Anak yang memahami gizi akan tumbuh sehat, berpikir tajam, dan mampu berkontribusi bagi bangsa,” kata dia.
Menurut Ikeu, sekolah merupakan ruang edukatif yang ideal untuk mentransfer pengetahuan gizi secara sistematis. Pendidikan ini memahamkan keterkaitan antara makanan, kesehatan, dan kesejahteraan, juga demi hidup yang lebih sehat.
Ikeu mengatakan, melalui kurikulum, siswa akan diajarkan berbagai topik penting seperti konsep dasar gizi, kelompok makanan dan porsi yang tepat, peran zat gizi bagi tubuh, serta dampak negatif dari kebiasaan makan yang buruk.
Pendidikan gizi juga memahamkan siswa tentang pentingnya gizi seimbang, dan menimbang asupan makanan mereka. Hal ini juga berperan dalam pencegahan penyakit akibat pola makan buruk, seperti obesitas dan diabetes.
“Siswa juga memperoleh keterampilan praktis, seperti memasak dan berkebun yang bisa langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Dia meyakini integrasi pendidikan gizi dalam kurikulum akan menciptakan sinergi positif antara sekolah, keluarga, dan komunitas, serta memperkuat pesan pentingnya gizi seimbang di berbagai lapisan masyarakat.
Yang terpenting, kata Ikeu, pendidikan gizi dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup sehat, mendukung upaya pencegahan penyakit, serta meningkatkan kualitas hidup di masa depan.
Ahli Gizi Sebut Anak Bisa Dapat Pendidikan Gizi Lewat MBG
Adapun dokter dan ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen menyebutkan, selain melalui pengenalan teori di kelas, pendidikan gizi untuk membangun kebiasaan makan pola bergizi seimbang bisa didapatkan siswa dengan menikmati MBG disertai dengan penjelasan yang tepat.
“Dengan anak bisa menikmati Makan Bergizi Gratis yang benar dan disertai dengan penjelasan yang baik, akhirnya ini menjadi kebiasaan,” ujarnya pada Senin, 21 Juli 2025.
Dia menuturkan pendidikan gizi di sekolah perlu dilakukan oleh pengajar yang kompeten dan harus diselaraskan dengan kampanye nasional ‘Isi Piringku’ yang dikenalkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kampanye itu sudah diinisiasi secara nasional sejak 2017 sebagai panduan konsumsi makanan dengan gizi seimbang.
Mengacu pada penjelasan Kemenkes, secara umum dalam satu piring setiap kali makan, setengah piring harus diisi dengan sayur dan buah sedangkan setengah lainnya diisi dengan makanan pokok dan lauk pauk.
Kampanye ini juga mengajak masyarakat menjaga tubuh tetap terhidrasi dengan konsumsi delapan gelas air setiap hari. Tak hanya itu, tapi juga menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti rajin mencuci tangan dengan air serta sabun sebelum dan setelah makan.
Tan juga menyebutkan kondisi di lingkungan sekolah yang mendukung pola hidup sehat, termasuk makan bergizi seimbang, juga perlu diciptakan.
Urgensi Kompetensi Guru
Menurut dia, guru harus mendapatkan literasi gizi yang tepat sehingga nantinya bisa langsung mengenalkan berbagai pangan sehat. Hal ini tentu untuk menunjang kebutuhan gizi tubuh sesuai pola makan bergizi seimbang. Lewat literasi gizi itu, guru juga harus mengenalkan kepada anak-anak bahaya makanan ultraproses sehingga anak tidak bergantung pada makanan yang telah diberi bahan pengawet, tinggi kandungan gula, dan tinggi kandungan garam.
Tan juga mengusulkan pemerintah mendukung pendidikan gizi yang optimal. Hal ini diwujudkan dengan membatasi iklan produk yang menargetkan anak dan remaja aktif mengonsumsi produk ultraproses. Menurutnya, iklan-iklan tersebut kerap menimbulkan pemahaman keliru yang akhirnya menjauhkan upaya pangan sehat terbentuk dari keluarga.
Sumber: Kata Abdul Mu’ti soal Usul Pendidikan Gizi Masuk Kurikulum Sekolah | tempo.co