Abdul Moqsith Ghozali

Abdul Moqsith Ghozali

Abdul Moqsith Ghazali, lahir kantong tradisi Nahdlatul Ulama, Muqsith tumbuh dan besar dalam tradisi pesantren yang kuat di Madura. Pria kelahiran Situbondo, 7 Juni 1971 ini adalah alumnus pondok Pesantren Salafiyah al-Shafi ’iyyah, Asembagus, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Sejak di pesantren inilah putera pertama K.H. A. Ghazali Ahmadi dan Hj. Siti Luthfiyah itu mulai mengenal pemikiran-pemikiran progresif, salah satunya adalah pemikiran Abdurrahman Wahid.

Latar Belakang

Bagi Muqsith kedua orang tuanya adalah guru. Ia belajar dari ibunya membaca al-Qur’an dan kitab-kitab fiqih dasar seperti Sullam dan Safinah, sedangkan dari ayahnya, ia belajar Qawa’id Fiqhiyyah dan ilmu Balaghah. Muqsith juga banyak belajar dari kakeknya K.H. Syarifuddin Abd. Somad, baginya kakeknya adalah guru sekaligus murabbi, ia belajar kepada kakeknya ilmu nah wu dan sarf, mulai dari kitab Juru miyyah hingga Ibnu ‘Aqil.

Telah diketahui bahwa Muqsith lahir dari keluarga santri dan tumbuh di lingkungan pesantren. Kondisi pesantren membatasi ruang pergaulannya. “Perjumpaan dengan umat agama lain sangat minim,” protesnya kala itu. Setiap hari, ia membaca Al Qur’an dan buku-buku yang hanya berbicara tentang keislaman. Muqsith juga membaca beberapa buku yang bicara pertentangan antara Islam dan Kristen. Dari situ, ia mulai tertarik membaca dan menelaah isi al-kitab.

Pandangan-pandangan

Keprihatinannya berkait dengan pertentangan agama semakin kuat dalam pikirnya. Apalagi, ketika menjumpai pandangan-pandangan para ulama yang keliru tentang pluralisme. Pertama, ada pandangan yang berkata, bahwa pluralisme itu mau menyamakan semua agama. Kedua, pluralisme itu tidak mengakui agama-agama. Dua hal ini, membuat Muqsith berniat menelisik lebih jauh bagaimana Al Qur’an berbicara tentang umat agama lain. Pemikiranannya makin terbuka, ketika ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.

Pluralisme Sebagai Pemersatu Bangsa

Muqsith menaruh harapan besar terhadap pluralisme agama, ia beranggapan bahwa pluralisme adalah dasar pemersatu bangsa Indonesia. Maka, ia mengusulkan agar para penggiat pluralisme di Indonesia masuk ke tiga ranah, yakni kultural, pendidikan dan politik. Karena saat ini, masyarakat lebih cenderung menjadi eksklusif. Orang bergaul hanya dengan sesama yang seagama saja. Hal ini ditandai dengan kemunculan perumahan- perumahan yang khusus untuk umat agama tertentu. “Ada perumahan Islam. Dan lebih parah lagi, tidak mau menerima umat dari agama lain,” jelasnya. Dalam dunia pendidikan, Muqsith memandang, baik madrasah, pesatren atau seminari masih mengajarkan beberapa pelajaran yang isinya diskriminatif terhadap agama lain. Sementara dalam politik, muncul aturan-aturan atau Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif.

Karir

Beliau menjadi peneliti di Religion Reform Project (RePro) Jakarta, peneliti di Wahid Institut Jakarta, Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar PP Lakpesdan NU Jakarta dan fasilitator dan narasumber isu Gender, HAM dan pluralisme. Beliau juga tergabung dalam beberapa lembaga, yaitu: majalah Syir’ah, Fahmina Institute, MADIA, ICIP, ICRP, Puan Amal Hayati, Kapal Perempuan, PSIK, LSAF, STT Jakarta, Rahima, LKAJ, IJABI, P3M, LAPAR (Makasar), PUSAKA (Sumatra Barat), Putroe Kande (Banda Aceh), YPKAM (Mataram), LABDA (Yogyakarta), eLSAD (Surabaya), Assosiate The Wahid Institute Jakarta.

Karya-Karya

Muqsith adalah seorang intelektual Islam muda yang produktif berkarya, ia aktif menulis di beberapa koran nasional, website, jurnal Ilmiyah, editor dan kontributor artikel beberapa buku antologi seperti Media Indonesia, Suara Pembaharuan, Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Indo Pos, Duta Masyarakat, Jurnal ITIQRA’ Ditperta Depag RI, Jurnal Dialog Litbang Depag RI. Adapun beberapa buku yang pernah diterbitkan adalah:

  • Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam (Cirebon: Fahmina Institute) 2006.
  • Metodologi Studi al-Qur’an, buku ini disusun oleh Muqsith Ghazali bersama dengan Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla, diteritkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2009.
  • Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis al- Qur’an, 2009.
  • Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, (2009).
  • Ibadah Ritual, Ibadah Sosial; Jalan Kebahagiaan Dunia-Akhirat, ditulis bersama Rahmat Hidayat dan Achmad Rifki, diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, 2011.
  • Pluralisme Agama di Era Indonesis Kontemporer; Masalah dan Pengaruhnya Terhadap Masa Depan Agama dan Demokrasi. Diterbitkan oleh Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains, UIN Malang, 2007.

Beberapa buku juga memuat karya ilmiahnya, di antaranya, Islam, Negara dan Civil Society (Jakarta: Paramadina, 2005), Bincang tentang Agama di Udara, Fundamentalisme, Pluralisme dan Peran Publik Agama (Jakarta: MADIA, 2005), Kala Fatwa Jadi Penjara (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), Dawrah Fiqh Perempuan: Modul Kursus Islam dan Gender (Cirebon: Fahmina Institute, 2006), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Bandung: Mizan, 2006).

Anggota Dewan Pengasuh PP Zainul Huda Arjasa Sumenep Madura itu juga terlibat dalam penyuntingan beberapa buku. Di antaranya, Geger di Republik NU; Perubahan Wacana, Tafsir Sejarah, Tafsir Makna (Jakarta: Kompas, 1999), Dinamika NU: Dari Muktamar ke Muktamar (Jakarta: Kompas, 1999), Ijtihad Islam Liberal (Jakarta: JIL, 2005), dan Menjadi Muslim Liberal (Jakarta: JIL-Freedom Institute 2005).