Menebak Arah Warga Kota di Era Pasca-Kerja

Menebak Arah Warga Kota di Era Pasca-Kerja

Merujuk kepada analisis berbagai lembaga penelitian kelas dunia, diprediksi bahwa dalam satu dekade ke depan, Indonesia—dan juga dunia—akan menghadapi sebuah transisi sosial-budaya-ekonomi besar yang jarang dibicarakan secara serius. Fase atau masa ini dikenalkan dengan sebutan: “era pasca-kerja (post-work era)”.

Post-work era ini bukan hanya memprediksi tentang teknologi yang menggantikan tenaga manusia saja. Akan tetapi, lebih jauhnya memprediksi tentang perubahan fundamental dalam struktur sosial, ruang urban, dan makna produktivitas itu sendiri. Era di mana kita diajak merenung lebih dalam tentang arti dan makna kehidupan dan berkehidupan secara lebih dalam dan “aku”.

Apa yang diprediksi tersebut, simptomnya telah mulai hadir. Khususnya di kota-kota besar Indonesia—Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, Medan—tanda-tanda awalnya sudah terlihat lebih nyata.

Sebagai contoh yang mudah kita temukan, sektor jasa dan manufaktur perlahan mulai tergantikan oleh sistem otomatis. Di beberapa pusat layanan pelanggan, bot menggantikan suara manusia. Bahkan tempat-tempat pusaran manusia seperti di bandara dan stasiun, mesin menggantikan peran petugas loket.

Begitu pun di dalam pendidikan dan media, kecerdasan buatan mulai mengambil alih sebagian proses kerja intelektual. Para pendidik, jurnalis, peneliti, sudah mulai dibantu kecerdasan artifisial (AI). Bahkan tidak mustahil, AI bisa memerankan lebih besar ketimbang peneliti manusia.

Tentu saja ini bukan fiksi ilmiah; Namun ini merupakan kenyataan yang terus bergerak secara eksponensial.

Menurut laporan McKinsey Global Institute dan data World Economic Forum, sekitar 40 hingga 60 persen pekerjaan yang hari ini masih dilakukan secara konvensional akan digantikan oleh sistem otomatis dalam kurun waktu 5–10 tahun ke depan. Tentu ini merupakan mimpi buruk mereka yang biasa mengandalkan pola dan model lama dalam sebuah tindakan yang bernama “kerja”.

Sementara itu, tidak kalah mengerikan dengan prediksi di atas, Bank Dunia memperkirakan bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia justru akan mengalami disrupsi yang lebih cepat karena lompatan teknologi seringkali tidak diimbangi dengan kesiapan pendidikan dan struktur ekonomi nasional.

Automasi dan Kota sebagai Polarisasi Sosial Baru

Jika kita perjelas, yang terjadi bukan sekadar hilangnya pekerjaan, tetapi munculnya polarisasi baru di wilayah urban. Kota tidak lagi sekadar ruang produksi, tetapi telah berubah menjadi medan kompetisi antara dua kelas baru:

Pertama, Kaum profesional terspesialisasi, yang menguasai keterampilan langka dan dibutuhkan dalam ekosistem teknologi tinggi dan,

Kedua, Kaum pekerja fleksibel dan informal, yang tidak memiliki stabilitas, tetapi mencoba bertahan dengan menjadi freelancer, ojek online, konten kreator, reseller, dan bentuk-bentuk kerja digital lainnya.

Tentu saja, jika hal ini benar-benar terjadi, maka kesenjangan akan memunculkan risiko sosial yang besar. Saat pekerjaan stabil hanya tersedia bagi segelintir orang, maka mayoritas penduduk urban akan hidup dalam ketidakpastian.

Di sinilah muncul istilah yang akan semakin menemukan momentumnya: “kerja apa saja”. Frasa ini terdengar begitu pragmatis, tetapi sebenarnya menyimpan keputusasaan struktural. Sebab ketika daya tawar tenaga kerja melemah, harga diri manusia ikut terkikis.

Generasi Z dan Beban Psikososial Kota

Lanjut kita bahas mengenai posisi Generasi Z Indonesia. Posisi mereka saat ini, mungkin bisa dibilang paling mendominasi bangku kuliah dan tahun-tahun awal karier. Inilah generasi pertama yang akan hidup penuh di era pasca-kerja.

Mereka dibesarkan dalam semangat meritokrasi, tetapi justru akan masuk ke dunia kerja yang tidak menyediakan ruang bagi semua. Persaingan tidak hanya terjadi antarindividu, tetapi dengan sistem yang tidak pernah lelah: algoritma, robot, dan kecerdasan buatan.

Maka dari itu, tekanan mental, kecemasan eksistensial, dan kelelahan emosional menjadi dampak turunan dari disrupsi ini. Studi WHO bahkan menunjukkan bahwa beban gangguan psikologis di negara berkembang meningkat tajam di kalangan usia produktif. Sementara itu kota menjadi episentrum dari krisis sunyi ini.

Kebangkitan Ekonomi Seni Budaya: Bukan Hiburan, Tapi Terapi Sosial

Di sinilah ruang-ruang pelarian kreatif mulai menemukan relevansinya. Seni dan budaya, yang sebelumnya sering dianggap sebagai pelengkap, justru berpeluang menjadi sektor strategis di era pasca-kerja. Teater komunitas, pertunjukan jalanan, seni digital, narasi audio-visual, festival lokal, hingga ruang-ruang publik yang menggabungkan relaksasi dan ekspresi kultural, akan menjadi infrastruktur emosional bagi masyarakat urban.

Secara modal sosial kultural, Indonesia memiliki kekayaan melimpah untuk sektor ini. Tradisi seni dan budaya hidup di hampir setiap daerah—dari pertunjukan lenong di Betawi hingga festival budaya di Toraja.

Di era pasca-kerja, warisan ini bukan hanya harus dilestarikan, tetapi dikonversi menjadi bagian dari sistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Dengan dukungan kebijakan, digitalisasi, dan pendekatan inklusif, seni dapat menjelma menjadi sumber ketahanan sosial sekaligus peluang ekonomi baru.

Rethinking Urban 

Maka dari itu, tantangan ini mengharuskan kita memikirkan ulang banyak hal. Perencanaan kota tidak bisa lagi hanya berorientasi pada pusat-pusat bisnis–seperti kebanyakan desain kota hari ini.

Kota masa depan perlu menyediakan ruang kreatif, ruang senyap, dan ruang reflektif. Pendidikan juga tidak bisa hanya menekankan STEM, tetapi harus mengintegrasikan dimensi humaniora, seni, dan keterampilan adaptif yang membentuk daya tahan emosional dan sosial.

Hal ini dikarenakan bahwa di era pasca-kerja merupakan zaman ketika manusia tidak lagi dipertanyakan apa pekerjaannya, tetapi apa kontribusinya pada kehidupan bersama.

Inilah fase di mana kita sedang berjalan menuju masyarakat yang tidak bekerja secara konvensional, tetapi justru ditantang untuk membangun makna baru tentang bekerja, berdaya, dan bermakna. Di situlah masa depan warga kota akan dipertaruhkan—dan dibentuk, sekaligus dipertanyakan kemampuannya memastikan spesies manusia ini tetap ada di muka bumi. [*]

Writer : Dr. Tantan Hermansah
Editor : MUHAMMAD RUSMADI

Sumber: https://rm.id/baca-berita/humaniora/267659/menebak-arah-warga-kota-di-era-pascakerja#google_vignette

Add a Comment

Your email address will not be published.